sbn-HISTORY, Sejarah Indonesia menyimpan banyak kisah kompleks, salah satunya adalah perjalanan hidup Haderi bin Umar, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Hadjar.
LAHIR di desa Ambutun, Hulu Sungai Selatan pada 19 April 1920, sosoknya menjadi simbol ironi: seorang pejuang kemerdekaan yang dielu-elukan, namun kemudian dicap pemberontak oleh negara yang ia bela.
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Ibnu Hadjar muda bergabung dengan ALRI Divisi IV, sebuah unit gerilya yang gigih melawan upaya Belanda kembali berkuasa di Borneo Selatan.
Dengan pengetahuan mendalam tentang medan hutan, rawa, dan sungai Kalimantan, ia memimpin pasukannya dalam berbagai serangan mendadak dan sabotase, menjadikannya letnan dua yang disegani dan pahlawan di mata rakyat setempat.
Namun, euforia kemerdekaan tak berlangsung lama bagi Ibnu Hadjar dan ribuan pejuang gerilya lainnya.
Setelah Indonesia merdeka sepenuhnya, reorganisasi militer dilakukan. Banyak pejuang lokal, termasuk Ibnu Hadjar, merasa dianaktirikan.
![]()
Mereka ditolak masuk TNI dengan berbagai alasan, mulai dari pendidikan yang kurang hingga kesehatan yang tidak memenuhi syarat.
Pesangon yang minim dan status veteran yang tak kunjung jelas memperparah kekecewaan mereka.
Rasa frustrasi ini memuncak pada tahun 1950. Ibnu Hadjar, yang merasa perjuangannya dikhianati, memutuskan untuk membentuk kelompok sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRjT).
Awalnya, gerakan ini menyuarakan tuntutan hak-hak para veteran. Namun, situasi politik yang memanas dan respons pemerintah yang dianggap tidak memadai mendorong kelompok ini ke jalur bersenjata.
Pemerintah pusat mulai mengategorikan mereka sebagai perampok dan pemberontak.
Titik balik yang mengukuhkan status “pemberontak” datang pada tahun 1954, ketika Ibnu Hadjar menyatakan baiat kepada Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat.
![]()
Sejak saat itu, gerakannya di Kalimantan Selatan secara resmi dianggap sebagai bagian dari pemberontakan DI/TII terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasukan Ibnu Hadjar berhasil menguasai wilayah-wilayah pedalaman di Hulu Sungai, Kandangan, hingga Rantau, melancarkan serangan kilat yang merepotkan militer.
Namun, seiring waktu, kekuatan mereka melemah akibat kelelahan rakyat, tekanan ekonomi, dan intensifikasi operasi militer pemerintah.
Kisah Ibnu Hadjar berakhir tragis pada tahun 1963. Ia menyerah dengan harapan mendapatkan amnesti dari negara.
Namun, beberapa bulan kemudian ia ditangkap kembali, diadili di pengadilan militer, dan dijatuhi hukuman mati pada 11 Maret 1965.
Sepuluh hari kemudian, pada 22 Maret 1965, seorang mantan pejuang kemerdekaan itu dieksekusi oleh regu tembak, di tanah air yang pernah ia perjuangkan.
![]()
Hingga kini, warisan Ibnu Hadjar tetap terbelah. Bagi pemerintah, ia adalah pemberontak yang mengancam persatuan bangsa.
Namun, di Kalimantan Selatan, banyak yang mengenangnya sebagai pahlawan yang dikhianati, cermin getir nasib pejuang yang berkorban jiwa raga namun kemudian tersisih dan dihukum oleh negaranya sendiri.
Kisah Ibnu Hadjar menjadi pengingat pahit tentang bagaimana garis antara pahlawan dan pemberontak seringkali ditentukan oleh dinamika politik dan kekuasaan.***


















