suara banua news- NASIONAL, Dalam sejarah pergerakan kebangsaan di Indonesia, tidak terlepas dari nama Sayyid Husein Mutahar.
DILANSIR dari Republika. co. id, Sayyid M Husein Mutahar atau H. Mutahar, adalah salah satu orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan atau pramuka.

H. Mutahar juga merupakan penggagas dari terbentuknya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau dikenal dengan nama Paskibraka.

Tata cara pengibaran bendera pusaka yang dirumuskan oleh Mutahar menghasilkan tiga kelompok.
Pertama kelompok pasukan 17 yang bertugas sebagai penggiring. Kedua Pasukan 8 yang bertugas sebagai pembawa bendera.
Kemudian, Pasukan 45 yang bertugas sebagai pengawal. Formasi ini terus digunakan sampai saat ini.
Nama-nama formasi tersebut menyimbolkan tanggal kemerdekaan RI.
Inilah satu babak penting dalam hidup H. Mutahar, yang terjadi pada 1945.
Pada saat itu, Ir. Sukarno ( Bung Karno) dan Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta) memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, atas nama seluruh bangsa Indonesia.
Sesudah itu, H. Mutahar berpangkat kapten dan diangkat sebagai sekretaris panglima Angkatan Laut, Laksamana Muda Mohammad Nazir.
Ketika agresi militer yang dilancarkan kerajaan Belanda ke Indonesia, dan pusat pemerintahan RI dioindahkan ke Yogyakarta.
Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta meninggalkan Jakarta. H. Mutahar diajak M Nazir untuk mendampingi Bung Karno.
Menjelang peringatan HUT ke Republik Indonesia, H. Mutahar kemudian dipanggil Soekarno.
H. Mutahar, ditugaskan untuk mempersiapkan upacara kenegaraan, yakni peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta.
Untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, H. Mutahar, dikalangan pemuda, dia menunjuk lima orang muda yang terdiri dari tiga putri dan dua putera untuk melaksanakan pengibaran Bendera Pusaka. Jumlah kelimanya menyimbolkan Pancasila.
Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer II pecah. Presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi RI ditawan Belanda.
Sebelum Gedung Agung Yogyakarta benar-benar terkepung, Bung Karno memanggil Mutahar.
Dalam pertemuan itu, sang presiden menyampaikan hal penting kepadanya. Salah satunya mengenai Bendera Pusaka.
Sang Saka Merah Putih yang dijahit istri Bung Karno, Fatmawati, itu dititipkan kepada Mutahar.
Memori tentang kisah Bendera Pusaka itu tercatat dalam autobiografi Bung Karno, seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Aku (Sukarno) tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu (Mutahar) pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu, kata Bung Karno.
H. Mutahar merasa, tanggung jawab yang di embannya itu sangat berat. Demi menyelamatkan amanah, ia membuat siasat.
Bendera Pusaka tersebut dipisahkan menjadi dua. Dengan dibantu oleh seseorang bernama Pernadinata, ia pun membuka jahitan bendera tersebut. Sesudah itu, bendera ini menjadi tampak seakan-akan dua kain yang terpisah: merah dan putih.
Kemudian, Mutahar menyelipkan kain merah dan putih itu di dua tas terpisah miliknya.
Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kedua kain tersebut. Ia berusaha sebaik mungkin agar kain yang tak ternilai itu tidak direbut tentara Belanda.
Baginya, Bendera Pusaka adalah sebuah simbol negara yang harus diselamatkan dan dipertahankan.
Sementara itu, Bung Karno beserta sejum lah pejuang diasingkan oleh Belanda ke Prapat (Sumatra Utara) dan lalu Bangka.
Adapun Mutahar sendiri ikut ditangkap dan ditahan di Semarang selama beberapa bulan.
Usai bebas, ia selalu mencari informasi dan cara untuk segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Sukarno. Akhirnya, pada Juni 1949, ia menerima surat dari Kepala Negara.
Isinya adalah pesan untuk menitipkan bendera tersebut kepada Soejdono. Setelah dijahit kembali, Mutahar kemudian menyerah kan Sang Saka Merah Putih kepada Soejdono untuk dibawa ke Bangka.
Pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka akhirnya bisa dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta
Di akhir masa hidupnya, ia menghuni sebuah rumah di jalan Damai Raya Nomor 20 di sebelah Pasar Cipete bersama Sanyoto, anak angkatnya.
Pada 9 juni 2004, H. Mutahar, meninggal dunia. Sebagai penyandang bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, tokoh ini sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Sesuai dalam surat wasiat yang ditulisnya, H. Mutahar, minta dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut.menjadi tempat peristirahatan terakhirnya
Namun, dalam wasiat yang ditulisnya di hadapan notaris, keturunan Rasulullah SAW ini ingin dikebumikan sebagai seorang rakyat biasa. Maka, Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut.***