suara banua news – JAKARTA, Program hilirisasi pertanian yang didukung oleh kebijakan perdagangan dan pembukaan akses pasar secara masif dapat menjadi kunci peningkatan ekspor produk olahan pertanian.
STRATEGI ini diharapkan menjadi terobosan signifikan dalam transformasi perdagangan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Indonesia.
Demikian yang disampaikan Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BK Perdag), Fajarini Puntodewi, dalam pembukaan Gambir Trade Talk (GTT) #16 yang digelar secara hibrida di Jakarta pada Kamis 17 Oktober 2024 dengan tema “Peluang dan Tantangan Peningkatan Kompleksitas Ekspor Pertanian Indonesia”.
“Hilirisasi di sektor pertanian sangat penting, mengingat nilai ekspor sektor ini masih tergolong rendah, yaitu USD2,77 miliar pada Januari-Juli 2024.
Upaya mengolah dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian perlu diperkuat agar Indonesia dapat bersaing secara efektif di pasar internasional.
Ini bisa menjadi game changer bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelas Puntodewi.
Sektor pertanian merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Pada triwulan II-2024, sektor ini menyumbang 13,78 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menjadikannya kontributor kedua terbesar.
Namun, pertumbuhannya hanya mencapai 3,25 persen, masih di bawah target 3,4-3,8 persen untuk tahun 2024
Peluang sektor pertanian semakin terbuka dengan pertumbuhan populasi di negara-negara berpendapatan rendah, seperti Afrika Sub-Sahara, yang diperkirakan meningkat 2,4 persen per tahun. Kondisi ini berpotensi membuka pasar baru bagi ekspor produk pertanian Indonesia.
Selain itu, tren impor produk pertanian global tumbuh 4,68 persen selama 2018-2029, menciptakan peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasar di sektor ini.
Namun, menurut Puntodewi, kompleksitas perdagangan Indonesia perlu ditingkatkan. Pada 2022, Economic Complexity Index (ECI) Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 133 negara, masih lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Vietnam.
Untuk menghadapi tantangan itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memiliki beberapa arah kebijakan, termasuk penguatan diplomasi perdagangan, pengembangan produk dan pasar ekspor, ekspansi pasar global melalui e-commerce, substitusi impor bahan baku, serta penguatan regulasi untuk merespons isu perdagangan hijau dan berkelanjutan.
Puntodewi juga menekankan perlunya kolaborasi dalam menghadapi tantangan lingkungan dan perubahan iklim, termasuk fenomena El Nino, serta kebijakan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang berdampak pada perdagangan pertanian Indonesia. Adaptasi teknologi dan penerapan perdagangan digital lintas batas juga dianggap penting untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Irfan Syauqi Beik, menyampaikan bahwa sektor pertanian adalah sektor strategis yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
Irfan mengutip Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa ketahanan pangan merupakan pilar kedaulatan negara. Menurut Irfan, sektor pertanian Indonesia masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut.
“Sektor pertanian masih potensial untuk berkembang. Tantangan yang ada harus dihadapi dengan strategi kebijakan yang dirumuskan oleh semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Acara GTT ke-16 menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Wijayanto (Direktur Perundingan Organisasi Perdagangan Dunia Kementerian Perdagangan), Sahara (Direktur International Trade Analysis and Policy Studies IPB), dan Arief Susanto (anggota Komite Perkebunan APINDO), yang membahas peran produk olahan pertanian dalam perdagangan internasional.
Menurut Wijayanto, produk olahan pertanian Indonesia memiliki potensi besar di pasar global yang semakin peduli dengan produk berbasis kesehatan, keberlanjutan, dan kualitas tinggi.
“Hilirisasi sawit dapat menghasilkan lebih dari dua ribu produk. Dengan fokus pada inovasi dan keberlanjutan, Indonesia dapat terus meningkatkan nilai tambah dari produk pertanian di pasar internasional,” katanya.
Sahara menambahkan bahwa ekspor produk olahan akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi ekonomi Indonesia. “Ekspor produk yang sudah diolah, seperti biji kopi panggang atau kakao olahan, memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk mentahnya,” jelas Sahara.
Arief Susanto menyoroti kondisi daya saing produk pertanian Indonesia, terutama sawit, kopi, kakao, dan kelapa, yang mulai bersaing ketat dengan negara lain. Arief menyarankan agar pemerintah fokus pada kepastian hukum, akses bahan baku, dan investasi di sektor hulu untuk mendukung hilirisasi pertanian.
GTT ke-16 yang diselenggarakan oleh BK Perdag dan ITAPS FEM IPB University dihadiri oleh 150 peserta dari kalangan kementerian/lembaga, akademisi, dan sektor swasta. Forum ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi antar pemangku kebijakan, akademisi, dan stakeholder untuk merumuskan kebijakan dalam menghadapi dinamika perdagangan global dan nasional.***