suara banua news-WANARAYA, Menyambut Hari Raya Nyepi di Desa Dwipasari Kecamatan Wanaraya Barito Kuala (Batola) dimulai dengan arak-ogoh-ogoh, sebuah tradisi khas umat Hindu.

OGOH-OGOH, yang merupakan patung raksasa simbol kejahatan, diarak dalam prosesi penuh semangat menuju Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1947.


Makna Ritual Pembakaran Ogoh-Ogoh saat Nyepi

Pengerupukan atau pawai ogoh-ogoh memiliki makna sebagai pengusir Bhuta Kala dari rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Ogoh-ogoh berbentuk patung Bhuta raksasa ini merupakan manifestasi sifat buruk bagi kepercayaan Hindu Nusantara.

Patung ogoh-ogoh divisualisasikan dalam bentuk raksasa bertubuh besar, wajah seram, dan memiliki kuku panjang.

Ogoh-ogoh ini dibakar sebagai simbol untuk memusnahkan Bhuta Kala perlambang segala bentuk kejahatan di bumi dan sifat buruk manusia.

Konon sosok Bhuta Kala ini bermula karena Bhatara siwa mengutus 4 putranya, yaitu Sang Korsika, Sang Garga, Sang Maitri, dan Sang Kurusya untuk menciptakan alam semesta.

Namun mereka gagal melaksanakan tugasnya sehingga Bhatara Siwa murka. Bhatara Siwa kemudian mengutuk anak-anaknya menjadi Bhuta Kala.

Peleburan sifat jahat dan keburukan ini juga menjadi refleksi bagi manusia. Saat ogoh-ogoh dibakar, maka kita manusia juga harus membakar atau memusnahkan segala keburukan di dalam hati dan pikiran.

Ritual pengerupukan bisa disebut sebagai upaya menetralisir atau membersihkan keburukan sebelum umat Hindu merayakan Hari Nyepi.

Pada saat Hari Raya Nyepi umat Hindu akan berdiam diri di rumah dengan keheningan dan menjalani Catur Brata Penyepian.

Pinandita Desa Dwi Pasari, Ketut Purwata, menjelaskan bahwa pawai ogoh-ogoh yang digelar di Desa Dwipasari ini bertujuan untuk menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947.

Dalam rangkaian perayaan tersebut, masyarakat melakukan penyucian diri serta perangkat peribadahan di pura melalui Upacara Melasti.

Lebih lanjut, Ketut Purwata, juga menjelaskan bahwa sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan ritual Buta Yadnya (Bhuta Yajna).

Ritual ini adalah upacara untuk menghalau kehadiran buta kala, yang merupakan manifestasi dari unsur-unsur negatif dalam kehidupan manusia.

Melalui ritual ini, umat Hindu berharap dapat menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan mereka.

Kurang lebih sejak sebulan sebelum puncak perayaan, warga Desa Dwipasari sudah mulai mempersiapkan ogoh-ogoh yang akan diarak dalam rangkaian upacara mecaru.

“Mecaru adalah ritual yang dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi, dengan tujuan untuk menetralisir pengaruh negatif Bhuta Kala, agar tidak mengganggu pelaksanaan catur brata (empat pantangan) yang harus dijalani selama Nyepi”, Jelasnya.Jum’at sore 28 Maret 2025.

Setelah ritual mecaru, diadakan acara pawai ogoh-ogoh yang mengelilingi desa.

Ogoh-ogoh sendiri adalah karya seni patung yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala, yang sering kali berbentuk sesosok raksasa besar.

Patung-patung ini dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti bambu atau kayu untuk kerangka, kawat aluminium atau besi untuk struktur pendukung, serta styrofoam untuk membentuk bagian tubuh seperti dada, kaki, dan wajah.

Setelah itu, ogoh-ogoh dihias dan diwarnai dengan cat untuk menambah kesan menyeramkan, sesuai dengan tujuan simboliknya, yakni mengusir energi negatif.

Ogoh-ogoh Setelah diarak keliling desa, ogoh-ogoh dibakar sebagai perlambang penyucian sifat jahat.Sebelum pawai ogoh-ogoh, ritual keagamaan umat Hindu di Dwipasari dalam menyambut Hari Raya Nyepi adalah melasti dan tawur kesanga, jelasnya.

Pawai ogoh-ogoh di Dwipasari memang selalu dinanti, tak hanya oleh umat Hindu, tetapi juga oleh masyarakat dari berbagai latar belakang.

Nafisa dan Ajeng, meskipun berasal dari desa yang berbeda, terlihat sangat antusias menikmati setiap momen dalam pawai yang dipenuhi dengan berbagai patung raksasa berbentuk makhluk mitologi.

Suara gamelan yang merdu serta para peserta yang mengenakan pakaian adat semakin menambah semarak acara tersebut.

“Acara seperti ini jarang kami temui di tempat tinggal kami, jadi saya senang bisa datang dan melihat langsung. Tidak hanya menyaksikan, tapi juga belajar tentang budaya dan agama lain,” tambah Nafisa.

Bagi mereka, pawai ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga kesempatan untuk memperluas wawasan dan menghargai perbedaan budaya yang ada di Indonesia.

Pawai ogoh-ogoh menjadi salah satu contoh nyata dari keragaman budaya yang patut dijaga dan dilestarikan.***