Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu.
suara banua news-NASIONAL, Dalam kitab Hadist Ar’abain, Imam an-Nawawi menuliskan hadis dari Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)
HADIST ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasyi danri Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi Salallahu Alaiwassalam.
Para ulama ahli hadis memiliki perbedaan dalam sanad hadist ini. Namun sebagian besar ahli hadis menyatakan bahwa ini adalah perkataan dari Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Imam al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Riaziy, Ad-Daruquthniy.
Yang menunjukan kebenaran tentang hal ini yaitu telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Rasullullah Juga.
Hadits diatas ini sangat penting artinya dan mesti menjadi perhatian yang sangat serius bagi setiap Muslim, karena dalam hadis ini putaran-putaran ajaran Islam semuanya bertumpu.
Hadits ini singkat redaksinya, tapi padat maknanya dan sarat akan pesan moral, karena didalamnya Rasulullah SAW mengingatkan kita akan pentingnya rasa malu, sebagai suatu sifat bagi bersandarnya akhlak-akhlak Islami.
Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu. Sifat malu wajib hukumnya dimiliki oleh seorang muslim.
Ia merupakan akhlak yang mulia, agung, dan sifat inimerupakan sifat yang selalu diseru oleh syariat dalam al-qur’an. Ibnu Qoyyim juga mengatakan; “sifat malu merupaka sifat khusus bagi kemanusiaan.
Orang yang tidak memiliki sifat malu, berarti tidak ada dalam dirinya sifat khusus ini dalam dirinya kecuali hanya sekedar bentuk daging, darah dan sifatnya. Selain itu dia tidak memiliki kebaikan apapun pada dirinya.
Selain itu sifat malu juga merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk, jika rasa malu telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan ia lakukan, seperti membunuh, zina, durhaka pada kedua orang tua dan lain-lain.
Musthafa Murad dalam Minhajul Mukmin menuliskan, sifat malu merupakan salah satu dari tujuh puluh cabang iman. Hal ini disebabkan kerena keduanya (iman dan malu) sama-sama menyeru dan mendorong seseorang kepada kebaikan dan menjauhkannya dari kejahatan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah hadist yang diriwayat Ibnu Majjah juga disebutkan ;”Malu termasuk bagian dari iman dan iman balasannya di surga.
Imam Nawawi dalam riyadhus shalihin menuliskan, hakikat sifat malu merupakan sebuah budipekerti yang menyebabkan yang menyebabkan seseorang meninggalkan perbuat yang buruk dan dia tidak mau lenggah menunaikan hak seseorang yang mempunyai hak.
Sebuah riwayat dari Abul Qasim juga mengatakan ;”malu merupakan perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau karunia dan melihat adanya kelengahan, kemudian tumbuhlah diantara kedua macam sifat itu suatu keadaan yang dinamakan malu.
Secara umum, para ulama seperti Ibnu Rajab Al-Hambali membagi sifat malu kepada dua macam yaitu malu sebagai sebuah tabiat atau pembawaan yang dianugerahkan Allah SWT sejak manusia lahir. Kedua, malu yang tumbuh sebagai hasil usaha.
Sabda Rasulullah SAW dalam hadits ini lebih merujuk pada malu dalam bentuk kedua. Bila demikian, kita wajib merawat dan mengembangkan rasa malu ini dengan berusaha mengenal siapa Allah dan siapa diri kita.
Sedangkan tingkatannya, Ibnu Qoyyim dalam kitab Mijkrajul Muslimim membagi sifat malu kepada tiga tingkatan yaitu: pertama sifat malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, sehingga dia terdorong untuk selalu bermujahadah, mencela keburukan dirinya, dan dia tidak pernah merasa mengeluh.
Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya.
Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu kepada-Nya.
Kedua sifat Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk.
Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya, “Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4).
Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 138). “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).
Ketiga Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan.
Jika ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.
Akibat hilangnya sifat malu
Ibnu Abid Dunyam menulis dalam Makarimil Akhlaq bahwa Umar bin Khatab perna berkata; ’Barang siapa yang rasa malunya sedikit mala sifat waro’nyapun berkurang dan barang siapa yang sifat wara’nya berkurang maka hatinya pasti akan mati.
Sebuah riwayat dari Salman Alfarisi menuliskan; ”Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut.
Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut.
Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.
Ibnu Abbas mengatakan; “Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath).
Perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan.
Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.
Ibnu Qoyyim juga berkata : salah satu sebab merajalelanya kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, dia adalah pondasi setiap kebaikan, mak hilangnya rasa malu seseorang berasti sirnanya seluruh kebaikan.***
sumber republika.co.id
Oleh: Mubhalig dan Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Kepulauan Anambas, Deri Adlis SHi