suara banua news- JAKARTA, Dr. Abdul Rachman Thaha, SH, MH, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2019-2024 yang mewakili Provinsi Sulawesi Tengah, mendukung penyelesaian kasus Nurhayati sesuai hukum acara pidana yang berlaku.
NURHAYATI ditetapkan tersangka oleh penyidik dan Penuntut Umum telah nyatakan lengkap (P-21), namun berkembang pemberitaan bahwa Nurhayati adalah saksi yang melaporkan kepala desanya karena melakukan korupsi.
Mekanisme hukum acara pidana yang dimaksud Abdul Rachman Thaha, adalah “Apabila berkas sudah P-21, maka artinya berkas telah dinyatakan lengkap secara formal dan materiil untuk disidangkan.
Dan kewajiban penyidik sesuai hukum acara pidana adalah menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum bukan malah menghentikan penyidikan,” kata ART dalam keterangan persnya.
Ia menegaskan bahwa SP3 dapat diterbitkan oleh penyidik sebelum berkas dinyatakan lengkap secara formal maupun materiil oleh Penuntut Umum.
Artinya Apabila perkara sudah P-21, yang mempunyai kewenangan untuk menghentikan kasus Nurhayati adalah kejaksaan. Itu atas dasar asas oportunitas dan dominis litis jaksa.
“Seperti kasus-kasus sebelumnya, ada pencurian motor untuk memenuhi biaya hidup misalnya. Itu yang mengesampingkan perkara adalah kejaksaan,” sambungnya.
Lebih lanjut, pada pokoknya ia mendukung Nurhayati dilepaskan dari jerat hukum namun harus sesuai hukum acara pidana yang berlaku.
Pada sisi lain, ia mengingatkan bahwa sebuah perkara pidana harus dibuka seterang-terangnya dan tidak menutupi perkara yang lebih besar dengan mengedepankan berbagai isu, misalnya isu whistleblower.
Karena mungkin saja terjadi seorang wistleblower dihukum karena perannya dalam tindak pidana yg dilaporkannya begitu signifikan.
“Atau bahkan whistleblower hanya melaporkan kasus yg kecil tapi ia menutupi kasus yang lebih besar yang telah dilakukannya. Oleh karena memandang sebuah kasus pidana seharusnya komprehensif dan penuh kearifan,” jelasnya.
Hal serupa juga diungkapkan Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad. Dirinya mendukung penyelesaian kasus Nurhayati secara hukum yang berlaku.
Mekanisme hukum yang dimaksud Suparji adalah apabila berkas sudah P-21, maka yang harus mengentikan kasus adalah Kejaksaan. Bukan dari kepolisian melalui SP3.
Ia menegaskan bahwa SP3 diterbitkan sebelum berkas dinyatakan lengkap secara formal maupun materiil. Artinya yang mempunyai kewenangan untuk menghentikan kasus Nurhayati adalah kejaksaan.
“Apabila ada kepentingan umum maka Jaksa Agung lah yang berwenang mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas dan dominis litis Jaksa. Maka, penyidik agar menghargai lembaga prapenuntutan sebagaimaba diatur KUHAP,” jelas dia, dalam keterangan persnya.
Pada pokoknya ia mendukung Nurhayati dilepaskan dari jerat hukum, namun harus sesuai hukum acara pidana yang berlaku. Maka, ia berharap ke depan Polri lebih selektif dalam menindaklanjuti perkara.
“Penyidik harus punya sensitifitas terhadap keadilan dalam menindaklanjuti perkara. Maka kasus ini harus menjadi pelajaran, karena dikhawatirkan masyarakat yang melapor kejahatan justru ditersangkakan,” katanya.***