” Bagi masyarakat Kalimantan Selatan dan Banjarmasin khususnya, nama John Tralala pasti sudah tidak asing lagi. Sebagai ‘seniman besar’ bagi Kalimantan Selatan, semasa hidupnya penulis sempat mewancara John Tralala dan kiprahnya di dunia seni Madihin dan disajikan dalam bentuk tulisan sederhana”

suara banua news – BANJARMASIN, Nama John Tralala adalah sosok seniman daerah di Kalimantan Selatan yang mampu membaca selera jaman. Itu dia buktikan lewat keberaniannya melakukan improvisasi syair -syair Madihin menjadi segar dan menggelitik.


BAHKAN, tak jarang syair Madihin yang ia lantunkan mengandung kritik sekaligus penyampai pesan -pesan moral atas realitas di tengah kehidupan masyarakat saat itu.

Lewat tangannya, John Tralala dapat memainkan alat musik ‘terbang’ [semacam alat musik perkusi] serta gaya bertuturnya membawakan syair Madihin.

Kemudian dirinya mampu mengangkat salah satu kesenian asli daerah Kalimantan Selatan ini melanglang nusantara untuk tampil di acara acara resmi.

John Tralala yang punya nama asli H.Yusran Effendi ini bisa dikata sebagai seniman serba bisa. Pada awalnya, ia lebih dikenal sebagai ‘tukang banyol’ di Radio Nirwana Banjarmasin, dimana. Semasa hidupnya ia menjadi penyiar tetap di radio tersebut.

Puncak ketenaran John Tralala diawali, ketika ia dan grupnya antara lain Utuh Cubik dan Amang Kancil menjadi juara I Festival Lawak Tingkat Nasional TVRI-RRI di Jakarta.

Berbincang bincang dengan dengan seniman John Tralala sangat mengasyikkan. Itulah pengalaman yang penulis dapatkan saat wawancara dengan salah satu seniman Kalimantan Selatan ini semasa hidup beliau.

Soal nama John Tralala, H.Yustan Effendi bercerita. Nama itu diberikan salah satu gurunya saat masih duduk di bangku SMA. Saat itu Yusran Effendi disarankan ikut lomba lawak se Kalimantan Selatan.

Ketika hendak tampil, sang guru merasa nama Yusran kurang menarik. Lantas gurunya itu memberi nama panggilan panggung John tralala dan di festival lomba lawak ini ia meraih juara III.

Awal mula John Tralala terjun keseni Madihin, bermula dari keprihatinannya atas nasib kesenian khas daerah Kalimantan Selatan yang sulit berkembang saat itu, dikarenakan kesenian yang satu ini dikatakan di backup oleh lembaga kesenian oleh salah satu organisasi terlarang?

” Tak mengherankan, jika sulit berkembang waktu itu. Padahal sebagai suatu seni budaya daerah, sebagai bagian dari budaya nasional. Madihin harus tetap lestari”

” Dan, ini yang membuat saya tertantang untuk mengembangkannya,” mengingat cerita almarhum John Tralala kepada penulis.

Tantangan lainnya sebelum berkembang, seperti sekarang. Seni Madihin lampau, terkesan monoton. Baik syair maupun cara penyajiannya.

” Saya ingin bagaimana kesenian Madihin bisa populer, bisa mudah dicerna dan menjadi seni yang digemari semua kalangan,” ucap John Tralala saat itu.

Dari sinilah John Tralala berani tampil melakukan improvisasi. Dengan latar belakangnya sebagai seorang pelawak, dan ‘tukang ngocol’ di radio, mulailah John Tralala memperkenalkan seni Madihin versi barunya yang menampilkan syair-syair yang menggelitik dan tak jarang penuh kritik sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat saat itu.

Bahkan John Tralala berani menggunakan bahasa Indonesia yang semula dianggap keluar dari pakem Madihin yang hanya menggunakan bahasa Banjar.

Ternyata formula baru John Tralala mengena sasaran dan masyarakat mulai menggemarinya.

Seiring itu, tawaran manggung mulai datang dari mana mana dan John Tralala mulai disibukkan dengan show-show Madihin nya.

Bukan saja ditingkat lokal Kalimantan Selatan, John Tralala juga kerap diundang ke berbagai daerah di luar Kalimantan Selatan, bahkan sampai ke ibukota Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Indonesia.

Sebagai sosok seniman yang terkenal dan tampil dimana mana, banyak pengalaman menarik yang di alami John Tralala.

” Saya pernah diundang oleh perusahaan mobil di Jakarta. Disana saya diberi fasilitas lengkap. Nginapnya di hotel berbintang dengan tarif Rp. 1,7 juta permalamnya. Makannya juga mewah”

” Namun, satu malam berikutnya saya harus manggung di Penggaron Martapura. Nah disini tidurnya tidak di hotel lagi, tapi disamping ‘kindai banih’ atau lumbung padi dan makannya juga iwak sepat karing,” cerita almarhum John Tralala, sambil tersenyum mengingat pengalaman uniknya.

Namun bagi John Tralala, diundang diamanapun bagi dirinya tak masalah. Sebab ia lebih menekankan berkeseniannya guna melestarikan sekaligus menghibur masyarakat.

John Tralala juga bercerita kepada penulis, dulu waktu awal awal dikenal biasa tampil di daerah, tak jarang melalui jalur sungai menuju tempat undangan manggung.

Pada tahun 1982 John Tralala merasa itu sebagai tahun yang penuh berkah bagi dirinya dan keluarganya.

John Tralala diundang ke Jakarta untuk tampil membawakan kesenian Madihin pada acara HUT Golkar yang waktu itu dihadiri langsung Presiden Soeharto dan para menteri.

John Tralala berangkat bersama putranya Hendra yang masih duduk di kelas IV SD. Saat tampil, selain John Tralala juga tampil sejumlah artis terkenal.

Namun John Tralala dan Hendra mampu tampil luar biasa. Hampir semua undangan tertuju perhatiannya kepada kedua orang seniman Madihin asal Kalimantan Selatan ini.

Boleh jadi, karena Madihin waktu itu sebagai bentuk seni yang baru Dimata mereka yang hadir.

Apalagi syair-syairnya yang dilantunkan bapak anak tersebut benar-benar unik dan menarik.

Bahkan, saat itu Bapak Presiden sempat memberi acung jempol kepada John Tralala dan putranya sebagai ucapan selamat.

Nah, ketika itulah salah satu syairnya menyentil keinginan untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Waktu itu Pak Harto, cuma senyum mendengar “sindiran” John Tralala dan Hendra yang mengaku tak memiliki biaya pergi berhaji.

Ternyata usai manggung, keinginan John Tralala dikabulkan Pak Harto.
Presiden di masa orde baru ini membiayai John Tralala dan keluarga untuk berhaji.

” Apa yang saya lakukan dengan berkesenian dan hasilnya sekarang adalah anugerah dan Rahmat Allah SWT,” cerita almarhum kepada penulis.

H. Yusran Effendi atau John Tralala lahir di Pasar Pemangkih 13 Juni 1959 dan meninggal di Banjarmasin 26 Juni 2018 silam.

Adapun karya almarhum John Tralala dalam dunia seni Madihin diantaranya, Imah Galapung, Menimang Bulan, Apam Barabai dan Tasalah Kali serta banyak lagi yang lainnya.***
penulis muji setiawan
foto istimewa/net

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here