suara banua news- MARTAPURA, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar mencatat sembilan laporan kasus dugaan polio dalam kurun waktu 2022. Tujuh kasus diantaranya sudah dilakukan pemeriksaan dan kajian non polio Acute Flaccid Paralysis (AFP).
DEMIKIAN yang dikemukakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Yasna Khairina melalui Kepala Seksi (Kasi) Surveilans dan Imunisas Noripansyah, akhir pekan tadi.
Dikatakannya lagi, hasil tersebut masih menunggu hasil Kunjungan Ulang (KU) 60 hari yang hasilnya akan dikaji oleh komite ahli eradikasi polio sebagai bahan pertimbangan untuk menyatakan kasus termasuk kategori polio atau non polio AFP?
” Sejak 2 tahun terakhir, capaian vaksinasi polio di Kabupaten Banjar agak rendah”
” Hal tersebut dikarenakan, masyarakat takut ke Puskemas untuk melakukan pemeriksaan kesehatan saat dalam kondisi sakit, karena khawatir dinyatakan terpapar Covid-19?,” jelasnya.
Ditambahkannya, target capaian vaksinasi polio di Kabupaten Banjar baru sekitar 65 persen atau sekitar 7.080 orang dari total sekitar 10.512 orang.
Dia juga menjelaskan, ada waktu sekitar 2 bulan untuk mengejar target tersebut, selain pihaknya dengan gencarnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar anaknya diberikan vaksin polio.
” Saat ini yang terdeteksi hanya yang memiliki gejala saja,” jelasnya.
Dikatakannya, untuk memastikan seorang anak terkena gejala atau poliomyelitis cukup sulit terdeteksi. Sebab, gejala panas pada anak yang terserang polio hampir sama dengan demam biasanya sebelum akhirnya mengalami kelumpuhan.
Selain itu jelasnya lagi, kurangnya peran aktif masyarakat yang melaporkan kejadian tersebut.
“Biasanya masyarakat hanya menganggap demam biasanya. Dan kemudian dikasih obat pada umumnya”
“Setelah tiga bulan mengalami lumpuh layu baru ditindaklanjuti, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen fesesnya untuk pemeriksaan,”ungkapnya.
Dilansir dari BBC News Indonesia, bahwa Kementerian Kesehatan mendeklarasikan Kejadian Luar Biasa (KLB) polio, menyusul penemuan satu kasus polio tipe 2 di Aceh – delapan tahun setelah Indonesia ditetapkan bebas polio oleh WHO.
Sang pasien, anak berusia 7 tahun di Kabupaten Pidie, mengalami gejala kelumpuhan di pada kaki kiri. Dia belum pernah divaksinasi.
“Anak itu mengecil pada bagian otot paha dan betis, dan memang tidak ada riwayat imunisasi ya, [tidak] memiliki riwayat perjalanan kontak dan perjalanan ke luar,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan dr. Maxi Rein Rondonuwu dalam konferensi pers, Sabtu 19 November 2022.
Penemuan satu kasus polio ini terjadi seiring tren penurunan cakupan imunisasi di Aceh selama 10 tahun terakhir serta imunisasi dasar yang gagal memenuhi target di luar pulau Jawa setelah terhambat dua tahun pandemi.
Sebagai catatan, Indonesia telah mendapatkan sertifikat bebas polio dari WHO pada 2014 karena berhasil menanggulangi penyakit yang diakibatkan oleh virus polio liar. Status bebas polio ini masih berlaku hingga sekarang.
Meskipun sudah dinyatakan bebas, surveilans untuk kasus lumpuh layu (flaccid paralysis) terus dilakukan.
Penemuan satu kasus sudah cukup untuk dinyatakan sebagai KLB, kata Maxi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1501 tahun 2010, status KLB diberikan pada kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Penetapan status KLB memungkinkan pemerintah untuk mengkoordinasikan seluruh lembaga kesehatan untuk menanggulangi wabah serta melakukan upaya-upaya luar biasa, seperti meliburkan sekolah dan menutup fasilitas umum.
Terakhir kali ditemukan kasus polio di Indonesia adalah kasus polio tipe 1 pada 2018 di Papua – juga salah satu daerah yang cakupan vaksinasinya rendah.
Kenapa polio bisa muncul lagi?
Polio diakibatkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan permanen.
Virus polio menular terutama melalui tinja, dan berkembang di saluran pencernaan. Oleh karena itu, lingkungan yang tidak bersih dapat mempermudah penyebaran virus polio.
Ketika mengamati perilaku masyarakat di wilayah sekitar lokasi penemuan kasus, tim Kemenkes mendapati masih ada penduduk yang buang air besar ke sungai, dan meskipun tersedia toilet lubang pembuangannya langsung mengalir ke sungai.
Sungai tersebut menjadi sumber aktivitas penduduk, termasuk tempat bermain anak-anak.
“Jadi perilaku buang air sembarangan itu punya potensi jadi kemungkinan penularannya. Faktor risiko yang paling kami lihat ada di sini,” kata Maxi.
Penyakit polio dapat dicegah dengan imunisasi di usia balita. Ada dua jenis vaksin polio yang termasuk dalam program imunisasi dasar.
Pertama, vaksin polio tetes atau OPV yang diberikan saat bayi berusia 1, 2, 3, dan 4 bulan. Kedua, vaksin polio suntik atau IPV yang diberikan saat bayi berusia 4 dan 9 bulan.
Menurut catatan Kemenkes, terjadi penurunan tren cakupan imunisasi OPV dan IPV di Aceh dalam 10 tahun terakhir.
Data cakupan imunisasi OPV selama empat tahun ke belakang menunjukkan jumlah kabupaten/kota di Aceh yang diberi status merah, artinya cakupan imunisasi di bawah 50 persen, terus bertambah. Adapun IPV lebih parah lagi – pada 2022, seluruh kabupaten/kota di Aceh mendapat status merah.
Kemenkes bersama WHO melakukan survei cepat menyusul penemuan kasus polio di Aceh. Mereka menemukan bahwa dari 30 anak di 25 rumah tangga, baru sejumlah kecil yang sudah mendapat vaksinasi OPV dan tidak ada satu pun yang sudah mendapat IPV.
Namun, situasi daerah-daerah lain juga tidak jauh lebih baik. Cakupan imunisasi OPV4 di seluruh Indonesia pada 2021 mencapai 80,2 persen, turun dari tahun sebelumnya sebanyak 86,8 persen. Sementara cakupan IPV sudah meningkat dari 37,7 persen pada tahun 2020 menjadi 66,2 persen pada 2021 namun masih di bawah target.
Bahkan, menurut analisis terbaru per November 2022 dengan menggunakan perangkat WHO, sebanyak 30 provinsi dan 415 Kabupaten/Kota di Indonesia termasuk risiko tinggi.
“Jadi ini kita Indonesia ini high-risk untuk terjadinya KLB polio,” kata Maxi.
Maxi menerangkan, dua tahun pandemi Covid-19 telah menghambat program imunisasi dasar. Program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang diselenggarakan pemerintah bulan Mei dan Agustus lalu juga gagal mencapai target di luar Jawa, ujarnya.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengatakan KLB polio di Indonesia terakhir kali dilaporkan terjadi pada 2005-2006 untuk virus polio tipe 1 yang berasal dari Timur Tengah.
KLB itu terjadi di 10 provinsi dan 47 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, dengan total kasus yang dilaporkan sebanyak 305.
Adapun virus polio liar terakhir berhasil diisolasi di Indonesia pada 1995.
Menurut Prof. Tjandra, kasus di Aceh kemungkinan besar diakibatkan oleh virus polio dari vaksin, yang dapat berkembang menjadi penyakit pada daerah yang relatif rendah cakupan vaksinasi polionya, dan atau pada orang-orang dengan daya tahan tubuh lemah.
Ia menerangkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di Papua pada 27 Februari 2019, saat ia masih bertugas di WHO. Pada saat itu ada dua kasus terinfeksi “circulating vaccine-derived poliovirus type 1 (cVDPV1)” di Papua.
Kasus pertama adalah anak dengan kelumpuhan jenis “acute flaccid paralysis (AFP)” yang bermula pada 27 November 2018, dan kasus ke dua adalah anak lain yang sehat namun pada tinjanya ditemukan VDPV. Kasus kedua ditemukan di desa terpencil yang berjarak 3-4 km dari kasus pertama.
“Tentu sekarang harus dilakukan upaya maksimal agar kasus di Aceh tidaklah merebak luas, dan kita sudah punya pengalaman panjang untuk mengendalikan polio di Indonesia,” kata Prof Tjandra yang juga pernah menjabat Dirjen Pengendalian Penyakit di Kemenkes.
Bagaimana respons pemerintah?
Menanggapi penemuan kasus ini, Kemenkes berencana melaksanakan imunisasi massal kepada semua anak berusia 13 tahun di Aceh, dimulai dari Kabupaten Pidie pada tanggal 28 November. Pemerintah juga akan meningkatkan imunisasi rutin secara nasional, kata Maxi.
“Kita sudah suruh tarik ke Dukcapil. Per desa kita lakukan satu minggu, dan kemudian seluruh Aceh mulai tanggal 5 Desember dan itu dilakukan 2 putaran,” kata Maxi.
Kemenkes juga akan meningkatkan upaya penemuan kasus lumpuh layuh akut di masyarakat.
“Kita juga melakukan surveilans yang aktif ya ke faskes-faskes (fasilitas Kesehatan) untuk melihat jangan-jangan ada yang belum terlaporkan, untuk melihat anak-anak di bawah 15 tahun yang mengalami lumpuh akut secara mendadak,” ujarnya.***
Catatan redaksi: Artikel ini telah diperbarui untuk memberi penjelasan tentang status bebas polio yang masih disandang Indonesia hingga sekarang.