Lukisan “Cheng Ho”

SUARA BANUA NEWS –  PADA MASA kerajaan Majapahit, Cheng Ho, pernah datang ke Pulau Jawa dengan ratusan kapal perang Dinasti Ming.  Kedatangan Cheng Ho sendiri untuk menjalin hubungan baik dengan Majapahit. Kendati sebelumnya hubungan  Tiongkok dan Jawa memang pernah tak baik ketika Raja Kertanagara memerintah menjelang masa akhir  kerajaan Singosari.


Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah.

Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan.

Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.

Cheng Ho adalah seorang kasim  Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle  dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming.

Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (Sam Po Bo), berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim.

Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15.

Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi  (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).

Jauh sebelum itu, Jawa adalah wilayah pertama di Nusantara yang menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok. Mulai tahun 131 M, Kerajaan Jawa berinisiatif memulai hubungan itu dengan mengirimkan utusannya.

Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, mengatakan kedatangan utusan Jawa itu disebutkan dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, yaitu Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116Penyusunnya adalah sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M).

Setelah itu, hubungan Jawa dan Tiongkok makin terjalin. Utusan-utusan yang datang dan dikirim dari Jawa terus muncul dalam catatan-catatan resmi kerajaan.

Keadaan mulai berubah ketika Tiongkok dikuasai Mongol pada 1279 M. Penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singosari.

Khubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan (1279-1294) mengirim utusan ke Jawa pada 1280, 1281, dan 1286. Dia menuntut Kertanagara, raja Singosari, untuk mengakui kekuasaannya dengan mengirimkan anggota keluarga Singosari ke istananya di Beijing.

Namun, Kertanagara justru merusak wajah Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada 1289, sebagai wujud pernolakan. Khubilai Khan pun marah dan mengirim tiga jenderalnya, Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing (bukan Cheng Ho) untuk menyerang Jawa.

Adapun nama Cheng Ho, atau Zheng He, baru muncul dalam Ming Shi atau Sejarah Dinasti Ming. Dia diutus ke Jawa pada 1405. Dalam Sejarah Dinasti Ming, sejarawan Dinasti Ming memasukkan namanya dalam bab biografi orang terkenal dengan judul Catatan Zheng He.

  “Ini bisa dibilang merupakan dokumen resmi yang mewakili sudut pandang pemerintah Tiongkok,” kata Nurni.

Menurut Nurni berbeda dengan catatan resmi Dinasti Yuan, dalam Sejarah Dinasti Ming sudah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang dan bagaimana menjaga hubungan dua negara walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok.

“Kenapa sampai begitu?” kata Nurni. “Karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi karena menyangkut uang dalam jumlah besar.”

Narasi tentang Majapahit pun cukup panjang dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. Majapahit dalam Sejarah Dinasti Mingmuncul pada bab tentang “Jawa.”

“Majapahit ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah,” kata Nurni. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting.”

Saking mesranya hubungan Jawa dan Dinasti Ming, dalam naskah tercatat lebih dari 30 kali utusan Jawa mengunjungi Tiongkok, lebih sering dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majapahit,” ujar Nurni.

Sri Maharaja Kertanagara (meninggal tahun 1292), adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Singosari. Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singosari, dan ia dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara.

Menantunya Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus dinasti Singosari. Silsilah Kertanagara adalah putera Wisnuwardhana raja Singosari tahun 1248-1268.

Ibunya bernama Waning Hyun yang bergelar Jayawardhani. Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Teleng (putra sulung Ken Arok, pendiri Singosari, dari Ken Dedes).

Istri Kertanagara bernama Sri Bajradewi.

Dari perkawinan mereka lahir beberapa orang putri, yang dinikahkan antara lain dengan Raden Wijaya putra Lembu Tal, dan Ardharaja putra Jayakatwang.

Nama empat orang putri Kertanagara yang dinikahi Raden Wijaya menurut Nagarakretagama adalah Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Berdasarkan prasasti Mula Malurung, sebelum menjadi raja Singosari, Kertanagara lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja di Kadiri tahun 1254.

Nama gelar abhiseka yang ia pakai ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa.

Berdasarkan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, Kertanagara bergelar śrī mahārājādhirāja kŗtanagara wikrama dharmmottunggadewa. Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana.

Menurut Pararaton ia adalah satu-satunya raja Singosari yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.

Namun diakhir hayatnya, Kertanagara terbunuh dalam pemberontakan Jayakatwang. Untuk mewujudkan ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera, sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting.

Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.

Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang).

Saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Dinasti Mongol sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.

Dan,  pada tahun tahun itu, Dinasti Mongol berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.

Pengiriman pasukan ke Sumatera dilakukan pada tahun 1275 di bawah pimpinan Kebo Anabrang.

Pada tahun 1286 Bhumi Malayu dapat ditundukkan. Kemudian Kertanagara mengirim kembali utusan yang dipimpin oleh rakryān mahā-mantri dyah adwayabrahma membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Pada tahun 1284 Kertanagara juga berhasil menaklukkan Bali, dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari.

Pada tahun 1289 datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya.

Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Kertanegara bahkan sampai memotong salah-satu telinga Meng Khi.

Untuk membalas hal itu, beberapa tahun kemudian Kubilai Khan mengirim pasukan yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Singosari.

Pasukan tersebut mendarat di Jawa tahun 1293 di mana saat itu Kertanagara telah lebih dulu meninggal akibat pemberontakan Jayakatwang.(Dari berbagai sumber) ***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here