suara banua news – RELIGI, Masuknya Sultan Suriansyah kedalam agama Islam sekitar tahun 1521 M. Boleh dibilang sebagai titik awal perkembangan Islam di Kalimantan Selatan.

ISLAMISASI berlatar belakang politik di kalangan bangsawan Kerajaan Banjar, tidak terlepas dari peran Kesultanan Demak.


Mulai saat itu perkembangan Islam di kalangan Kerajaan Banjar, berkembang pesat.

Dalam sejarah tercatat seorang mubaliq yang memiliki peran penting dalam siar Islam di Kalimantan Selatan. Mubaliq inilah yang meng-Islam-kan Pangeran Samudera, yang kelak dikenal dengan Sultan Suriansyah.

Mubaliq itu dikenal dengan Khatib Dayan, seorang ulama sekaligus Panglima Kesultanan Demak.

Selain untuk meng- Islam-kan Raja Banjar pertama itu, keberadaan Khatib Dayan di wilayah Kesultanan Banjar, juga membawa dakwah Islam, sesuai dengan misi politik dari Kesultanan Demak.

Untuk pelaksanaan perkembangan dan siar Islam, Sultan Suriansyah kemudian mendirikan masjid di pinggiran sungai di Kuin Utara, yang kini dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah.

Konon, kabarnya pada awalnya bangunan Masjid Sultan Suriansyah, hanya beratapkan Daun Rumbia, berdinding Bambu yang dianyam dan berlantaikan Ruyung.

Masjid Suriansyah dari tahun ke tahun terus dilakukan renovasi, hingga berbentuk sebagaimana sekarang.

Melihat dari bentuk bangunan Masjid Sultan Suriansyah, ada pengaruh dari arsitek bangunan Masjid Demak.

Lalu siapa Sultan Suriansyah? Pada masa mudanya ia memiliki nama Pangeran Samudera, cucu Maharaja Sukarama, turunan ke tujuh dari Kerajaan Dipa di Amuntai.

Ayahnya bernama Raden Mantri dan Ibunya Puteri Galuh atau Puteri Intan Sari anak Maharaja Sukarama, penguasa Kerajaan Daha.

Pada masa kanak kanak, Pangeran Samudera dihanyutkan di sungai oleh ibunya dengan sebuah sampan kecil. Hal ini dilakukan, akibat ancaman Raden Tumenggung yang ingin berkuasa di Kerajaan Dana di Danau Panggang HSU.

Sebagai putera mahkota, Pangeran Samudera, upaya yang dilakukan ibunya untuk penyelamatan diri Pangeran Samudera.

Dalam pelarian itu, Pangeran Samudera ditemukan oleh Penguasa Kuin, yaitu Patih Masih (Jaya Buana). Dan selanjutnya diangkat sebagai raja di Kuin. Di daerah ini pula pemeritah Kerajaan Banjar dipusatkan.

Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Suriansyah berkuasa sebagai Raja Banjar pertama sejak tahun 1526 sampai 1546 M. Tahun kekuasaa ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Banjarmasin, 26 September 1526.

Di Kuin Utara Banjarmasin juga terdapat komplek pemakaman raja dan bangsawan Kerajaan Banjar, yang hingga sekarang masih bisa dilihat.

Selain Sultan Suriansyah, di komplek pemakaman ini juga terdapat sejumlah bangsawan Banjar, seperti Sultan Rahmatullah dan dan Sultan Hidayatullah, raja Banjar kedua dan ketiga.

Di komplek pemakaman ini juga bermakam Khatib Dayan, Patih Kuin, Patih Masih (Pangeran Jaga Baya) dan Ratu Suriansyah, Gusti Muhammad Arsyad bin Pangeran Muhammad Said bin Pangeran Antasari serta Senopati Antakusuma, pending Kesultanan Kotawaringin Pangkalan Bun.

Ramai di kunjungi para penziarah

Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah di Kuin Utara setiap harinya ramai di kunjungi para penziarah yang datang dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan, dan daerah lainya di Indonesia.

Di dalam komplek pemakaman Sultan Suriansyah ini terdapat pula makam Sjech Abdul Malik atau HajiMuhammad Nafis atau Haji Batu.

Ia adalah seorang ulama besar, di masa pemerintahan Sultan Rahmatullah, raja kedua Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin.

Ketika dalam perjalanan menuju Kota Mekkah untuk menuntut ilmu agama, kapal yang ditumpanginya mengalami musical dan terdampar di sebuah pulau kecil.

Di pulau ini, berbagai kejadian aneh dialami H. Abdul Malik. Salah satunya bertemu dengan seekor burung rajawali raksasa.

Dengan mengikatkan kain surbanya di kaki rajawali, H. Abdul Malik bisa keluar dari pulau tersebut.

Kejadian aneh selanjutnya, saat H. Abdul Malik melihat dua buah sumur yang air berbeda warna. Hijau dan putih. Saat mencelupkan jarinya ke sumur yang airnya berwarna hijau, jarinya pun berubah menjadi batu.

Dalam perjalanan selanjutnya, kejadian aneh kembali dialami H. Abdul Malik. Ia menemukan perkampungan dengan penduduk dengan semuanya wanita dengan warna kulit yang hitam akibat kutukan.

Atas ijin Allah SWT, kutukan itu akhirnya bisa disembuhkan H. Abdul Malik dengan jari batunya.

Selama berada di Kota Mekkah, H. Abdul Malik atau Muhammad Nafis. Selain menunaikan ibadah haji, Ia juga menuntut ilmu agama dari sejumlah Guru yang sholeh dan ulama ulama salaf, baik di Mekkah maupun di Madinah.

Setalah masa cukup ilmunya, H. Abdul Malik pun pulang ke Kampung Kuin Banjarmasin, untuk melakukan dakwah Islam. Dan, disini Ia dikenal dengan nama Haji Batu.

H. Abdul Malik meninggal sekitar tahun 1640 dan di makamkan di Komplek Pemakaman Sultan Suriansyah.

Di komplek pemakaman ini, bermakam pula Sayyid Ahmad Iderus, seorang ulama Arab yang datang bersama H. Abdul Malik, dan melakukan dakwah dari surau ke surau dan masjid ke Masjid. ***
(Diambil dari berbagai sumber)
muji setiawan.